Jakarta – Warga Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok Depati Orik terus berjuang untuk mendapatkan keadilan atas dugaan penyerobotan lahan adat seluas 1.300 hektar oleh PT Berkat Sawit Utama (PT. BSU). Namun, dalam proses hukum yang berlangsung, Hakim Ruben Barcelona Hariandja diduga memberikan pertimbangan hukum yang tidak berpihak pada keadilan, bahkan memihak perusahaan dan menzalimi para penggugat.
Kekecewaan atas putusan yang dinilai tidak profesional ini mendorong Warga SAD untuk melaporkan tiga hakim terlibat di **Pengadilan Negeri Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi, ke Komisi Yudisial Republik Indonesia serta Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mangku Adat SAD Kelompok Depati Orik, Mahmud Irsad, memastikan langkah hukum tidak berhenti di satu titik. Ia menegaskan bahwa laporan ini juga ditembuskan langsung ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, menyoroti dugaan pelanggaran Kode Etik Hakim yang dianggap mencederai prinsip keadilan.
Hakim Dituding Menyalahi Kode Etik dan Bertindak Tidak Profesional
Mahmud Irsad sebelumnya telah melaporkan para hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian ke Komisi Yudisial Republik Indonesia terkait dengan putusan perkara nomor 18/pdt.g/2024/PN.Mbn. Kini, ia kembali mengajukan laporan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan harapan ada tindakan nyata terhadap dugaan ketidakprofesionalan dalam mempertimbangkan hukum.
“Kami melaporkan ini karena hakim yang menangani perkara tersebut tidak profesional dan menyalahi Kode Etik Hakim!” tegas Mahmud dalam wawancara dengan awak media, Rabu (28/05/2025).
Perjuangan Suku Anak Dalam untuk menuntut hak mereka masih berlanjut. Meski menghadapi berbagai tantangan, mereka tetap yakin bahwa masih ada lembaga negara yang benar-benar peduli terhadap keadilan dan mampu mengawasi jalannya hukum tanpa keberpihakan.
Reporter: Sabli