SAROLANGUN, zoom fakta – Di tengah lanskap Jambi yang kaya akan warisan budaya Melayu dan tradisi keislaman yang kuat, nama KH Muhammad Salek, yang lebih dikenal sebagai Buya Salek, tetap bersinar sebagai salah satu ulama karismatik yang paling dihormati. Lahir di Kampung Masjid, Desa Penegah, Kecamatan Pelawan Singkut, Kabupaten Sarolangun pada tahun 1910, Buya Salek tumbuh dalam keluarga yang taat agama. Ayahnya, Haji M Zein, dan ibunya, Mengkuy, menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini kepada putra pertama mereka.
Perjalanan intelektual Buya Salek dimulai pada usia belia. Di tahun 1922, saat menginjak usia 12 tahun, orang tuanya mengambil keputusan penting untuk mengirimkannya menuntut ilmu ke pusat peradaban Islam, Mekkah. Sebuah perjalanan yang tidak mudah pada masa itu, ditempuh melalui jalur sungai Batanghari yang menjadi urat nadi transportasi kala itu. Di tanah suci, Buya Salek menimba ilmu dari para ulama terkemuka selama bertahun-tahun.
Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1935, dengan bekal ilmu yang mendalam, Buya Salek tidak tinggal diam. Beliau memiliki visi untuk memajukan pendidikan dan syiar Islam di kampung halamannya. Inisiatif pertamanya adalah mendirikan madrasah, pesantren, dan masjid. Selain itu, beliau aktif mengadakan pengajian dan berdakwah dari desa ke desa di seluruh Kabupaten Sarolangun, bahkan seringkali diundang untuk mengisi ceramah di kabupaten tetangga.
Karisma Buya Salek tidak hanya terletak pada keluasan ilmunya, tetapi juga pada amalan-amalan spiritual yang diyakini masyarakat memiliki keistimewaan. Kisah-kisah tentang karomahnya tersebar luas di kalangan masyarakat. Konon, beliau tidak basah saat berjalan di bawah hujan deras, dan air liurnya dipercaya dapat mencerdaskan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Lebih jauh lagi, masyarakat meyakini Buya Salek memiliki kemampuan untuk menghadiri berbagai undangan di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Untuk menguji kebenaran kisah ini, warga pernah mencoba memberinya makan dan minum. Jika sosok yang hadir menolak, diyakini itu hanyalah “bayangan” Buya Salek. Kisah lain yang sering diceritakan adalah tentang shalat Subuhnya di masjid, di mana secara fisik beliau berada di Sarolangun, namun rohnya diyakini berada di Mekkah.
Kontribusi nyata Buya Salek dalam dunia pendidikan terwujud dalam pendirian Madrasah Raudhatul Sopyan. Madrasah yang didirikan pada tahun 1945 ini awalnya menempati rumah warga yang kosong. Hingga kini, madrasah tersebut masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu dedikasi Buya Salek dalam mencerdaskan generasi muda.
Buya Salek menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 28 Oktober 2003 dan dimakamkan di depan Masjid An-nur, yang kini diabadikan namanya menjadi Masjid M-nur Muhammad Salek. Untuk mengenang jasa dan perjuangannya dalam menyebarkan ajaran Islam, Pemerintah Kabupaten Sarolangun membangun Pondok Pesantren Tahfidz Quran Buya Salek. Selain itu, sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian warisan intelektualnya, sebuah perguruan tinggi Islam di Kecamatan Pelawan Singkut juga diberi nama Institut Agama Islam (IAI) Buya Salek.
Kisah hidup Buya Salek adalah cerminan dari dedikasi seorang ulama yang tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga mengamalkannya dalam tindakan nyata untuk kemajuan masyarakat. Warisannya terus hidup, menginspirasi generasi kini dan mendatang di bumi Jambi.
Reporter: Sabli